Disajikan Oleh: Pdt. H.M. Siagian.
Banyak hal yang dapat menimbulkan
dan memicu persoalan atau masalah dalam pernikahan dan rumah tangga. Secara
jelas dan detail M.S Hadisubrata memaparkan masalah-masalah yang timbul dalam
pernikahan. Menurutnya masalah-masalah dalam pernikahan timbul karena pengaruh
dari luar dan dari dalam hubungan pernikahan itu sendiri.
MASALAH YANG TIMBUL DARI LUAR PERNIKAHAN:
Masalah yang timbul karena pengaruh
dari luar misalnya adalah dampak modernisasi sebagai era peradaban teknologi
modern yang membawa banyak perubahan bagi kehidupan keluarga. Salah satu
perubahan karena modernisasi adalah pergeseran dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri. Pergeseran ini berdampak terhadap
hubungan kekerabatan dalam keluarga. Misalnya, dalam masyarakat agraris
keluarga dipahami sebagai keluarga besar (extended family) yang tinggal dalam
satu rumah, mencari makan bersama dan menikmati makanan itu bersama-sama pula.
Sedangkan dalam masyarakat industri keluarga hanya berarti ayah, ibu dan anak
yang belum menikah (nuclear family), mereka harus bertanggung jawab atas
keluarganya sendiri-sendiri. Perubahan pola hidup keluarga ini
juga berdampak terhadap peranan masing-masing anggota keluarga (Hadi Subrata,
2008: 22-23). Jika perubahan ini tidak diantisipasi dan ditangani, maka akan
menimbulkan masalah-masalah serius dalam rumah tangga.
MASALAH YANG TIMBUL DARI DALAM PERNIKAHAN
Masalah-masalah yang timbul dari
dalam pernikahan biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan dalam penyelesaian
kepribadian dan dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan
pernikahan itu sendiri.
Masalah-masalah
yang dimaksud adalah sebagai berikut (Hadi Subrata:2008, 30-35):
1.
Harapan-harapan yang tidak realistis:
Biasanya harapan-harapan ini muncul
pada masa romantik, yakni selama pacaran dan tahun-tahun pertama pernikahan. Harapan-harapan
yang tidak realistis ini misalnya, mereka merasa bahwa pernikahan mereka akan
membuat mereka bahagia selamanya, hubungan seksual mereka akan selalu
menyenangkan, mereka tidak akan pernah kesepian lagi, dengan perkawinan ini
pasangan mereka akan berubah menjadi lebih baik, dan sebagainya. Ketika
harapan-harapan ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan kekecewaan bagi
kedua belah pihak.
2.Sumber konflik
dalam pernikahan:
Sumber konflik ini dapat mencakup
dua hal.
Pertama:
Konflik yang bersumber pada kepribadian pasangan yang biasanya disebabkan
ketidakmatangan kepribadian, adanya sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok
untuk menjalin hubungan pernikahan misalnya pemabuk, penjudi, egois,
tertutup, keras kepala dan lain-lain, dan adanya kelainan mental misalnya
homoseks atau lesbian, schizophrenia, sadisme dan lain-lain.
Kedua,
Konflik yang
bersumber pada hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan, misalnya masalah
keuangan, kehidupan dan temperamen sosial, pendidikan anak, agama, hubungan
dengan mertua dan ipar, penyelewengan dalam hubungan seksual dan lain-lain.
3.Ketidakpuasan
seksual:
Hal ini dapat disebabkan sebagai
akibat dari kekecewaan terhadap pasangan yang dapat mengakibatkan mengendornya
hubungan pribadi suami-isteri. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual ini dapat
juga disebabkan oleh anggapan yang salah (tabu) mengenai aktivitas seksual.
Hambatan-hambatan yang menyebabkan
ketidakpuasan seksual dapat meliputi hambatan psikologis, misalnya rasa takut
dan cemas akan kehamilan, dan hambatan fisik, misalnya dalam bentuk kelainan
seksual.
4. Masalah penyesuaian diri terhadap keluarga:
Latar
belakang keluarga yang berbeda, cara bergaul, cita-citanya tentang rumah
tangga, disiplin dalam rumah tangga, sikap mereka terhadap keluarga kedua belah
pihak, tentang hubungan saudara ipar, dan lain-lain.
5. Masalah
pengendalian keuangan:
Hasil survey para ahli menyatakan
lebih 50 % perceraian disebabkan karena masalah keuangan dalam keluarga
(Vivian: 2001, 118).
6.Masalah
harapan-harapan:
Harapan-harapan mengenai soal
keuangan, anak, cita-cita, masa depan, masalah seksual dan lain-lain dalam
rumah (keluarga) yang dibina.
7.Kehidupan
rohani (spritual life):
Keanggotaan gereja, doa dan
kebaktian bersama, peran serta atau partisipasi dalam gereja, dan lain-lain.
Kerinduan menciptakan pernikahan bahagia
haruslah memerlukan upaya “merajut bersama”:
1. Cinta
kasih.
2. Kesetiaan
dan
3. Relasi
yang baik di antara suami-isteri, terlebih kepada Tuhan Allah.
1. Cinta Kasih dalam Pernikahan
Kasih digunakan sebagai gambaran sifat Allah
dan sebagai paradigma untuk hubungan yang ideal. Kasih adalah sebagai kekuatan
yang menyatukan. Panggilan Allah terhadap manusia tidak mungkin dapat
dilaksanakan dengan baik kalau manusia tidak merasakan kasih Allah dalam hidup
mereka, atau mereka akan melaksanakan tanggung jawab itu dengan terpaksa.
Pernikahan adalah salah satu
anugerah Allah yang besar untuk dapat menghayati kasih itu. Kasih memegang
peranan yang begitu penting dalam kehidupan seorang Kristen, baik secara umum
maupun secara khusus dalam hubungan suami-isteri (Campell: 1990, 666).
Berbicara tentang cinta-kasih, kita
mengenal kasih agape. Agape berarti cinta yang tidak
mementingkan diri sendiri, cinta rohani, cinta persaudaraan, kemurahan hati dan
keharuan. Agape merupakan kasih yang
berdasarkan pada hormat dan pengetahuan yang dalam akan ketuhanan-Nya termasuk
pada perintah-perintah-Nya untuk manusia (Rottschafer: 1999, 706). Abineno
menegaskan bahwa cinta agape adalah cinta yang murni. Allah adalah cinta murni,
cinta yang dicurahkan (Roma. 5:5).
Agape artinya berada untuk orang
lain. Penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan kata “agapan” untuk
menyatakan bahwa Allah bukanlah Allah yang egois dalam cinta-Nya kepada
orang-orang yang hidup bermusuhan dengan Dia. Cinta Allah tidak mencari apa
yang menyenangkan, tetapi Ia membuat menjadi menyenangkan. Ia mencurahkan dan
membagi-bagikan karunia-Nya tanpa syarat kepada orang-orang berdosa. Agape
ialah cinta kepada seseorang yang tidak layak untuk dicintai. Agape ialah
kemurahan, belas kasih yang sedalam-dalamnya (Abineno: 1983, 67-68).
Dalam pernikahan suami-isteri hanya
dapat menemukan kebahagiaan dalam pasangannnya kalau ia mau hidup untuk dia.
Disinilah letak cinta-kasih (agape) dalam pernikahan. Agape juga
berperan dalam hubungan seksual. Agape tidak dapat berfungsi sepenuhnya dalam
hubungan suami-isteri kalau dalam hubungan itu sedikitpun tidak terdapat unsur
erotic. Kekecewaan, konflik dan kesulitan lain yang merongrong banyak
pernikahan sering disebabkan oleh eros yang tidak dipimpin, diatur dan dikekang
oleh agape.
Hanya cinta agape Allah yang dapat
membebaskan kita dari cinta kita yang hanya berpusat pada diri dan kepentingan
sendiri, serta mengajar kita untuk mencintai sesama manusia, juga kepada yang
tidak mencintai atau memusuhi kita. Dalam
hubungan suami-isteri kita dapat saling mengampuni dan mengandalkan cinta
Allah. Dengan pengampunan (mengampuni seorang akan yang lain) pernikahan akan
bisa rukun dan bahagia (Abineno: 1983, 71-73).
2. Kesetiaan dalam Pernikahan
Richard Foster menuliskan bahwa
pernikahan Kristen merupakan perjanjian. Sebuah perjanjian adalah ikrar, sebuah
janji kasih dan kesetiaan. Sebuah perjanjian melibatkan kesinambungan dalam
pengertian melihat ke masa depan dan menoleh ke belakang kepada sejarah
bersama-sama. Sebuah perjanjian berarti keterlibatan, sebuah pengabdian kepada
sebuah hubungan kasih dan perhatian yang kaya semakin bertumbuh (Foster,
155-156).
Gagasan pernikahan sebagai suatu
covenant relationship (ikatan janji) juga didukung oleh pendapat Kartini
Kartono yang mengatakan bahwa ikatan laki-laki dan perempuan dalam bentuk
relasi suami-isteri itu sebenarnya merupakan ikatan janji kesetiaan cinta-kasih
yang diikrarkan dalam janji nikah. Nikah merupakan manifestasi ikatan janji setia di antara laki-laki dan perempuan yang memberikan
batasan-batasan dan pertanggungjawaban tertentu, baik kepada sang suami maupun
pada si isteri (Kartini: 1986, 18).
Prinsip fidelitas atau kesetiaan
dalam pernikahan berarti tetap berusaha menjaga kesetiaan dan kekudusan
pernikahan.
Arti kesetiaan dalam pernikahan yang
dimaksud sebagaimana ditulis lebih rinci oleh Richard Foster, adalah :
(a) Monogami.
(b) Sebuah
janji seumur hidup untuk mengasihi dan setia.
(c) Saling
merendahkan diri dalam dan takut akan Kristus.
(d) Pengendalian
seksual di luar perjanjian pernikahan; dan
(e) Kebebasan
seksual di dalam janji pernikahan (Foster, 156-162).
Kesetiaan dalam pernikahan sangat
menentukan untuk kebahagiaan dalam rumah tangga. Demikianlah Budyapranata
menyimpulkan, bahwa maksud Allah dalam memberikan Hukum Taurat, khususnya hukum
ketujuh (jangan engkau berzinah, Ulangan 20:14) adalah untuk melindungi
kebahagiaan dan keutuhan keluarga dari hanya pelampiasan hawa nafsu
(Budyaprana: 1987, 38).
Orang Kristen dewasa ini harus
melihat perintah tersebut sebagai suatu “penjaga” atas keberlangsungan ikatan
pernikahan (Shelton: 1993, 39).
Dasar dan teladan kesetiaan kita dalam
pernikahan adalah Allah sendiri. Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam
Alkitab adalah Allah yang setia (I Kor. 1:9; Mzm.145:13). Paulus juga
menyebutkan bahwa kesetiaan merupakan salah satu dari buah Roh (Gal.5:22). Oleh
sebab itu kesetiaan harus dipertahankan,
sebab kita memiliki Allah yang setia dan kita ingin hidup sesuai dengan
keteladanan-Nya.
3. Membangun Relasi yang Baik
Hidup adalah sebuah relasi.
Hubungan yang baik menghasilkan suasana yang baik. Oleh sebab itu, sangat
penting dibangun suatu relasi.
Dalam pernikahan, masing-masing
orang (suami atau isteri) berupaya supaya terbangun relasi yang baik dengan menjalin komunikasi yang baik setiap hari.
Dasar dan pusat dari relasi ini adalah Yesus Kristus. Relasi yang baik antara
suami-isteri selalu dapat diukur dengan bagaimana suami-isteri terhadap
Tuhannya.
Bila kita membuat suatu diagram “Segitiga
Cinta” maka itu akan memperlihatkan bahwa suami dan isteri yang berupaya
mendekat kepada Tuhan maka dengan sendirinya relasi merekap pun semakin dekat
terhadap satu sama lain.
Menambahkan dimensi rohani akan mengubah
hubungan pernikahan menjadi ikatan rumah tangga yang kuat. Tanpa kesatuan rohani
tidak akan pernah ada keutuhan pemahaman, komunikasi, ataupun seks (Nancy:
2006, 162).
Tanpa campur tangan Tuhan dalam
“membangun rumah tangga”, maka sia-sialah kita membangunnya (Mzm. 127:1).
Pernikahan yang direncanakan Allah adalah
pernikahan yang dilandasi cinta-kasih. Persekutuan cinta kasih ini harus selalu
diperjuangkan supaya tetap menjadi suatu pernikahan yang ideal (sesuai dengan
rancangan Allah) dan bahagia. Kebahagiaan pernikahan dapat
terjadi apabila Kristus hadir sebagai pusat dari relasi pernikahan tersebut.
Cinta-kasih, kesetiaan dan relasi yang baik antara suami-isteri terus dibangun
dan dipertahankan dalam dan bersama Kristus
Kiranya dengan pelajaran ini, kita akan
senantiasa dapat memelihara pernikahan itu supaya tetap lestari, kokoh dan
harmonis. Amin.
Komentar
Posting Komentar