PENYELESAIAN-KONFLIK-DALAM PERNIKAHAN.
Disajikan Oleh: Pdt.H.M. Siagian.
Konflik dapat dialami oleh setiap orang
dalam hubungannya dengan orang lain. Konflik umum yang seringkali melanda
gereja, yaitu antara lain: gossip dan fitnah, keluhan atas pemimpin gereja,
ketegangan dalam keluarga, perceraian, perzinahan, menuntut saudara ke meja
hijau. Konflik bisa terjadi dalam hubungan antara sesama anggota keluarga,
anggota gereja, dan anggota masyarakat maupun dalam hubungan-suami-isteri.
Konflik-dalam-Pernikahan
Konflik merupakan bagian dari kehidupan
suatu pernikahan dengan berbagai penyebab yang seringkali membawa ke dalam
kehancuran suatu pernikahan dan bahkan sampai pada tingkat perceraian, bukan
pada kebahagiaan hidup keluarga. Itulah sebabnya, para calon suami-isteri
harus dipersiapkan selain untuk mengantisipasi dan mengatasi
kemungkinan-kemungkinan sumber konflik, mereka juga perlu dilatih untuk
memecahkan masalah-masalah nyata yang seringkali menjadi penyebab-konflik.
Dalam kasus-kasus pernikahan yang
terjadi di tengah-tengah jemaat, konflik terjadi ketika masing-masing pihak
saling mempertahankan harga dirinya, karena tidak mau mengakui kesalahan yang
dibuatnya. Dan juga, masing-masing pihak saling menuntut bahwa dirinya merasa
benar dan-butuh-diakui-oleh-pasangannya.
Dalam kasus ini, rekonsiliasi merupakan
hal yang sulit untuk dilakukan atau bahkan mustahil untuk dilakukan dan
akhirnya mengarah kepada perceraian. Bahkan ada seorang isteri yang merasa
bahwa jika ia berdamai atau kembali kepada suaminya, maka ia akan merasa
kesulitan dan tersiksa batin karena-suaminya-berlaku-kasar-kepadanya.
Akhirnya seorang isteri akan memilih
untuk meninggalkan suaminya daripada hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh rasa
takut, tidak merasa aman dan nyaman. Tidaklah mudah bagi seseorang untuk
mengambil keputusan dalam situasi dan kondisi seperti itu. Namun, sebagai anak
TUHAN yang mau-rela untuk mengerti dan tunduk pada kehendak TUHAN, rindu untuk
mendapatkan jawabannya, maka ia harus berjalan dalam terang firman TUHAN. Tidak
ada cara lain untuk mengatasinya.
Cara satu-satunya yang harus dikerjakan ialah
masing-masing pihak harus datang kepada Yesus melalui kebenaran Firman-Nya dan
saling merendahkan diri satu dengan yang lain (bd. Efesus 4:32; 5:33).
Ken Sande
di dalam bukunya The Peacemaker mendefinisikan
konflik itu sebagai sebuah perbedaan pendapat atau tujuan, sehingga dapat
membuat frustasi terhadap tujuan atau keinginan yang ingin dicapai (Ken Sande,
2001:24).
Jadi, perbedaan yang ada antara pasangan
suami-isteri, baik itu pandangan maupun tujuan bisa membuat seseorang menjadi
frustasi dalam mencapai tujuan dan harapan-harapannya tersebut. Perbedaan
sekecil apapun dapat memicu konflik seseorang dengan orang lain (pasutri),
bahkan perbedaan itu juga dapat menyebabkan keretakan hubungan yang bersifat
sementara maupun permanen, yang pada akhirnya terjadi kepahitan terhadap
pasangannya.
Di sisi yang lain, perbedaan juga dapat
menyatakan kebesaran TUHAN yang telah menciptakan setiap individu itu unik adanya
(spesial). Masing-masing orang memiliki opini, gambaran atau perspektif,
pendirian atau keyakinan, kerinduan, dan prioritas yang berbeda-beda sesuai
dengan budaya yang melatarbelakanginya. Hal yang paling penting di sini adalah
bagaimana kita dapat menangani dan mengatasi perbedaan dari pihak-pihak yang
berbeda. Baik itu beda dalam hal kebiasaan, karakter, “pendapat” maupun “cara
pandang”.
Konsep-Rekonsiliasi
Rekonsiliasi atau perdamaian merupakan
suatu tindakan mendamaikan atau keadaan didamaikan, atau dengan kata lain
sebagai proses membuat hubungan menjadi mantap, cocok-atau-harmonis (compatible).
Rasul Paulus menuliskan istilah
rekonsiliasi dalam Perjanjian Baru dengan memakai kata kerja katallasso
(Yunani) dan muncul sekali dalam hubungannya dengan relasi suami-isteri, atau
dalam hubungannya antara sesama manusia (1 Kor 7:11). Lima kali dipakai dalam
hubungannya dengan Allah dan manusia (Roma 5:10; 2 Kor 5:18,19,20). Sedangkan
untuk kata benda katallage atau pendamaian muncul sebanyak empat kali (Roma
5:11; 11:15; 2 Kor 5:18,19).
Sebagai contoh adalah “Rekonsiliasi
Agung” yang telah dikerjakan oleh Allah Bapa kita di dalam Yesus Kristus adalah
bahwa Allah telah mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya melalui karya
Yesus di kayu salib (bd. Kolose 2:13-14). Jadi, rekonsiliasi di sini merupakan
suatu inisiatif, kreatif dan tindakan nyata, “pro-aktif”, pihak Allah-lah yang
menjadi Juru-Damai-bagi-kita.
Sekarang bagaimana dan apakah makna
rekonsiliasi bagi pemulihan hubungan bagi pasangan suami isteri yang sedang
mengalami konflik? Istilah rekonsiliasi dalam 1 Kor 7:11 menurut Terjemahan
Baru (TB) menggunakan kata “berdamai”. Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia
Sehari-hari (BIS) dan The Living Bible menerjemahkannya dengan “kembali kepada
suaminya”. Sedangkan dalam teks Yunaninya kata rekonsiliasi digunakan kata "katallageto" (aorist-imperative) yang berarti suatu tindakan yang harus
dilakukan oleh isteri, yaitu kembali menyatu dan membangun hubungan
persahabatan-dengan-suaminya-(bd.1Ptr.3:1-2).
Kata dasar katallago (Yunani) berasal
dari allaso yang berarti “berubah”, tetapi pada awalnya berarti “menukar”, yaitu menukar permusuhan menjadi persahabatan. Jadi, sebuah perdamaian
merupakan tindakan aktif, bukanlah pasif. Isteri itu tidak mungkin
diperdamaikan jikalau ia hanya pasif saja. Dalam hal ini, rekonsiliasi memiliki
dua sudut pandang yang harus diperhatikan. Pertama sebagai ketaatannya terhadap
perintah TUHAN; dan kedua menjaga supaya tidak jatuh-dalam-dosa-percabulan.
Rekonsiliasi merupakan suatu tindakan
yang terbaik menurut Paulus. Mengapa? Alasannya adalah bahwa pada dasarnya
rekonsiliasi dipandang sebagai langkah ketaatan kepada perintah TUHAN (bd. 1
Kor 7:10). Meskipun demikian, Paulus telah menyadari bahwa ada kemungkinan di
dalam kondisi tertentu rekonsiliasi tidak dapat dilakukan lagi karena ketegaran
hati masing-masing pihak (bd. 1 Kor 7:11).
Implikasinya adalah jika rekonsiliasi
dipandang sebagai ketaatan kepada perintah TUHAN, maka perubahan hubungan atau
pemulihan yang diinginkan oleh pasangan suami- isteri tersebut dapat terwujud. Syaratnya adalah jikalau salah satu pasangan yang telah memisahkan diri dari
pasangannya oleh karena sesuatu hal (konflik yang mengancam kehancuran rumah
tangga mereka), maka ia harus kembali menyatu dan membangun persahabatan
kembali dengan pasangannya. Hal itu juga disambut dengan respon yang baik oleh
pasangannya (“kompromi” dan “bekerjasama” dalam penyelesaian).
Pemecahan-konflik-secara-Alkitabiah
Manusia berdosa telah diperdamaikan
dengan Allah oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu, kita
yang percaya dan menerima Yesus secara pribadi dipanggil untuk menanggapi
konflik dengan jalan yang berbeda sama sekali dari jalan dunia (Mat 5:9; Luk
6:27-36; Gal 5:19-26). Kita juga percaya bahwa konflik dapat memberikan
kesempatan untuk memuliakan Allah, melayani orang lain, dan bertumbuh menjadi
seperti Kristus (Roma 8:28-29; 1 Kor 10:31-11:1; Yak 1:2-4). Oleh karena itu,
dalam menanggapi kasih Allah dan dalam menggantungkan diri pada anugerah Allah,
maka perlu sebuah komitmen untuk menanggapi konflik sesuai dengan
prinsip-prinsip-sebagai-berikut:
a. Allah dimuliakan dalam perkara
ini.
Pusatkan kepada kehendak dan kemuliaan Kristus dalam sebuah
perkara atau konflik-anda.(Kol.3:1-4).
b. Keluarkan balok di matamu.
Dari
pada menyalahkan orang lain untuk suatu konflik, kita percaya dalam kemurahan
Allah kita dapat mengakui kesalahan-kesalahan kita kepada mereka. Berbicaralah
kepada TUHAN untuk membantu kita dalam mengubah sikap dan kebiasaan kita yang
mudah menimbulkan konflik dan mencari cara untuk memperbaiki kesalahan yang
menjadi penyebab konflik (Ams 28:13; 1 Yoh 1:8,9).
c. Pemulihan
dengan kelemahlembutan.
Berbicaralah dengan lemah lembut secara pribadi dengan teman konflik anda-(Ef.4:29).
d. Pergilah
dan menjadi juru damai.
Bersikaplah pro-aktif dengan mengejar kedamaian dan pemulihan sejati dengan
cara yang saling menguntungkan, memaafkan orang lain sebagaimana Allah di dalam
Kristus yang telah mengampuni segala-kesalahan-anda.(Ef.4:1-3).
Tanggapan-positif-dalam-menangani-konflik
1. Pendamaian secara pribadi dan menyampaikan keputusannya kepada Tuhan, dan
harus pergi kepada orang yang tidak mau berdamai secara pribadi dalam usahanya
dalam penyelesaian konflik. Memaafkan semua pelanggaran. Mengadakan
rekonsiliasi. Lakukanlah negosiasi atau “kompromi”, dan “bekerjasama” dalam
menyelesaikan konflik yang-anda-hadapi.
2. Pendamaian dengan bantuan orang lain (pendeta atau konselor).Cobalah
menggunakan mediator atau bantuan orang lain. Mintalah seorang wasit untuk
menjadi penengah anda. Jika sudah terlalu gawat, maka tugas seorang hamba TUHAN
yang harus ikut di dalamnya untuk menjadi penasihatnya.
Norman Wright memberikan 9 langkah untuk mengatasi konflik:
1. Pahamilah konflik yang anda hadapi.
2. Jangan mendiamkan suami/isteri anda.
3. Jangan menimbun perasaan/emosi anda.
4. Jika memungkinkan siapkan setting (suasana, tempat dan waktu) untuk
menyatakan ketidaksepakatan anda.
5. Seranglah masalahnya dan jangan orangnya.
6. Jangan melemparkan perasaan-perasaan anda kepada suami atau isteri anda.
7. Jangan lari dari pokok pembicaraan.
8. Sediakanlah jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang anda-lontarkan.
9. Jangan
menggunakan kritikan sebagai lelucon.
Apabila anda salah akuilah, dan apabila anda benar diamlah!!!
(Ams.28:13).
8-Tips-menjadi-pendengar-Yang-baik
1.Jangan-memotong-percakapan.
2.Jangan biarkan pandangan anda berkeliaran, sebab anda akan-terkesan-tidak-serius.
3.Cobalah berempati dengan perasaan pasangan anda.
4.Jangan memotong atau mengalihkan pembicaraan.
5.Jangan berusaha mengungguli cerita teman bicara anda.
6.Jangan mengkritik omongan teman bicara anda.
7.Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang tepat, jangan ngawur dan apalagi tidak
nyambung.
8.Jangan berdebat dengan teman bicara anda.
Berusahalah hidup damai dengan semua
orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat-TUHAN--(Ibrani.12:14). Kiranya Rumah Tangga kita terhindar dari konflik. Amin.
Komentar
Posting Komentar